Seperti Tragedi Heysel pada Mei 1985, kira-kira begitulah wajah sepak bola nasional kita saat ini. Di Stadion Heysel, Brussels, Belgia, pesta sepak bola final Piala Champions berubah menjadi bencana saat 39 penonton tewas, 32 di antaranya pendukung Juventus, setelah bentrok dengan pendukung Liverpool. Kebanyakan pendukung Juventus tewas setelah tembok pembatas roboh menimpa mereka selepas aksi agresif hooligan Liverpool yang memang terkenal sangat beringas.
Kini ”bencana” yang sama menerpa persepakbolaan nasional Indonesia. Saat bangsa ini dilanda euforia sepak bola berkat penampilan elok tim ”Garuda Merah-Putih” pada Piala AFF, kegembiraan itu dirampas oleh arogansi dan politisasi para pengurus sepak bola. Tragedi belum juga usai karena selepas turnamen, momentum hebat euforia sepak bola nasional kembali terbuang percuma saat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) menghabiskan energinya untuk berseteru dengan pengelola Liga Primer Indonesia (LPI). Sepertinya, insan-insan sepak bola yang gagah mengaku sebagai pembina kembali melakukan kebodohan yang sama, seperti ketika kita kehilangan momentum besar kebangkitan sepak bola pada Piala Asia 2007.
Sungguh tidak dapat diterima, justru pengurus sepak bola nasionallah yang membuat penampilan hebat Firman Utina dan kawan-kawan menjadi antiklimaks dan tumbang oleh keperkasaan Malaysia yang pernah ditekuk 1-5 pada babak penyisihan grup. Dukungan menggebu penonton yang sebenarnya telah teraniaya oleh buruknya administrasi distribusi tiket, seperti disia-siakan oleh ambisi para politikus di PSSI yang mendompleng kehebatan pasukan ”Garuda”. Tim asuhan Alfred Riedl ini dimobilisasi sowan ke rumah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, kemudian diboyong ke sebuah pondok pesantren yang sungguh membuat persiapan Riedl menjadi berantakan.
Riedl, yang sejatinya pelatih bertangan dingin, yang mampu menyulap tim ”Garuda” menjadi sebuah skuad yang penuh gairah dan disiplin, sempat mengungkapkan kekesalannya itu kepada media saat jumpa pers di Bukit Jalil, Malaysia. ”Federasi (PSSI) mengganggu persiapan tim saya dengan hal-hal yang tidak penting dan tak berkaitan dengan sepak bola,” ujar pelatih asal Austria itu.
Keluhan Riedl tersebut sangat dimengerti mengingat pelatih yang pernah menangani Vietnam dan Laos itu memang sangat disiplin, keras, bahkan cenderung kaku. Ketua Umum PSSI Nurdin Halid pun mengaku pernah ”diusir” Riedl dalam sebuah pertemuan teknis menjelang Piala AFF. Riedl pun pernah berseteru dengan manajer timnas, Andi Darussalam Tabussala, karena masalah tertib organisasi. Sayangnya, sepulang dari Bukit Jalil, Riedl tiba-tiba meralat ucapannya.
Inilah bencana pertama bagi persepakbolaan nasional. Kekuatan utama Riedl adalah pada disiplin dan ”kekakuannya” menjaga Firman dan kawan-kawan. Pada suatu titik, Riedl rupanya sudah tidak tahan menahan beragam kepentingan politik yang diboncengkan kepada timnya. Ia mulai menyerah saat Firman cs dibawa ke rumah keluarga Bakrie. Selanjutnya, kita semua tahu, tim ”Garuda” gagal meraih impian lama merebut gelar juara.
Namun, bukan kegagalan meraih juara yang benar sebuah bencana. Tragedi sesungguhnya adalah perubahan sikap Riedl. Ralatnya terhadap ucapannya sendiri di Bukit Jalil menunjukkan, ia menyerah kepada politisi PSSI. Jika ia menyerah, artinya ia membuka pintu selebar-lebarnya pada intervensi-intervensi selanjutnya. Jika benar ini terjadi—dan semoga saja tidak—tidak ada lagi yang bisa kita harapkan dari mantan ujung tombak timnas Austria itu.
Tak lama setelah bencana Riedl, sepak bola Indonesia kembali mengalami masa-masa kelam akibat perseteruan antara PSSI dan pengelola LPI. Sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kinerja PSSI—yang selama delapan tahun masa kepengurusan Nurdin Halid tidak menghasilkan prestasi di tingkat internasional—kompetisi yang digagas oleh pengusaha Arifin Panigoro seharusnya disikapi wajar-wajar saja, tanpa perlu memberi muatan-muatan politik, apalagi syak wasangka picik.
Sebagai kompetisi yang dicita-citakan menjadi profesional dan bersih, seharusnya LPI diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya tanpa harus diganggu, apalagi diancam-ancam. Sikap PSSI yang berkeras dengan menyatakan LPI sebagai kompetisi ilegal dan harus dilarang justru semakin menunjukkan arogansi organisasi olahraga tertua di Indonesia tersebut.
Jika PSSI bertindak lebih arif dengan memberikan ruang kepada LPI untuk duduk bersama demi kebangkitan sepak bola nasional, tampaknya kita bisa menghindarkan diri dari lanjutan bencana sepak bola. Kalaupun PSSI tidak sepakat, tidak perlu pula membuang energinya dengan sikap konfrontatif yang akan merugikan sepak bola itu sendiri.
Jauh lebih bermanfaat jika PSSI justru menyalurkan energinya untuk membenahi mutu kompetisi Liga Super Indonesia yang meski sudah teratur dan makin besar kapitalisasinya, belum juga menghasilkan tim nasional yang berprestasi. Mutu kompetisi, antara lain, bisa diangkat dengan menaikkan mutu pelatih dan wasit. Jika PSSI benar-benar mau bekerja keras, kita tidak lagi bicara pada level Asia Tenggara atau Piala AFF yang masih berada di ”tingkat kecamatan” dalam tata pergaulan sepak bola internasional. Dengan jutaan bakat yang tersebar di seluruh Nusantara, Indonesia seharusnya sudah berbicara di tingkat elite Asia dan lawan-lawan kita bukan lagi Malaysia atau Thailand, melainkan Jepang, Korea Selatan, atau Australia.
Syaratnya, PSSI harus mulai bertindak menggulirkan kompetisi berjenjang dan benar-benar bekerja untuk pembinaan usia dini. Bakat-bakat istimewa yang dipunyai Okto Maniani, Yongki Ariwibowo, atau Arif Suyono seharusnya sudah berada di tingkat elite Asia, bukan klub lokal, jika mereka terbina dalam kompetisi bermutu sejak berusia 10-12 tahun.
Bola kini berada di tangan para petinggi PSSI, apakah akan memilih terus berkonfrontasi atau mengambil langkah bijak menyelesaikan baik-baik masalahnya dengan LPI. Jika langkah pertama yang dipilih, bersiaplah menghadapi bencana sepak bola nasional. Terserah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar